20 Agustus 2008

Tulisan Dari Sujiwo Tejo

Cinta PDF Cetak E-mail
Ditulis Oleh Sujiwo Tejo
Sabtu, 15 September 2007

Kali ini soal cinta. Soal sejuta rasa. Begitu kalau pinjam syair lagu mbak Titiek Puspa.

Tapi mbak “nenek genit” itu emang bener sih. Apa lagi coba yang lebih sejuta rasa ketimbang cinta? Saking sejuta rasanya, tak bisa cinta itu dilukiskan dengan kata-kata. Pun tak bisa dikatakan dengan sejuta lukisan.

Pernah saya mimpi. Suatu hari, entah kapan ya, kalau berkesempatan bikin teater lagi kayak dulu-dulu, saya akan bikin adegan begini:

Di sebuah kafe, seorang perempuan yang lagi getol-getolnya pada soal filsafat dan politik, jengah. Ngambek dia. Pasalnya, band kafe membawakan tembang cinta melulu. Dari petang sampai larut.

Perempuan itu memberesi tasnya. Menjelang beranjak ia protes pada pacarnya, “Kenapa sih dari petang tadi orang nyanyi lagu cintaaaaa melulu. Bahkan sejak sebelum Masehi..”

Sang pacar menjawab sekenanya, “Emang dalam hidup ini ada lagi yang lebih penting ketimbang cinta?”

Meski dijawab asal, di luar dugaan, perempuan itu tak jadi pulang. Perempuan itu (gambarkanlah rambutnya luruh sepunggung, hitam kehijauan oleh cahaya kafe, putih matanya senantiasa berembun) tak jadi pulang.

Ia tinggal di kafe itu sepanjang masa. Mempertimbangkan lagi penting atau tidaknya filsafat dan politik. Perlu atau tidaknya mengikuti berita pencalonan mbak Mega sebagai presiden oleh PDI-P. Manfaat atau tidaknya menunggu-nunggu siapa calon dari Golkar. Dan sebagainya. Dan sepanjang masa pula perempuan itu mendengarkan cuma tembang-tembang cinta di suatu kafe di pusat politik.

***

Gita-gita cinta terus disenandungkan. Sepanjang abad. Tapi cinta tak kunjung dimengerti. Orang selalu ingin mendengar penjelasannya lagi. Ingin lagi. Lewat drama, lukisan, sastra termasuk yang paling banyak adalah lewat musik.

Belum lama ini saya main-main ke tempat sesama orang Jember, Anang. Ke studionya. Kawasan Pondok Indah. Eh, ternyata dia juga lagi mixing album barunya yang nggak direlease dalam bentuk cd maupun kaset. Duet dengan Yanti (KD). Ternyata juga soal cinta. Udah rampung kelihatannya. Siang-siang di suatu gardu Satpam di Ciputat, saya mendengar tembang duet cinta itu dari radio Bens.

Pasti nanti ada teman-teman pemusik lain yang masih ingin share soal cinta. Dan pasti masyarakat belum puas juga. Mereka diem-diem akan terus memohon para seniman membuat tafsir baru perkara sejuta rasa ini. Dan pasti para seniman tak akan bisa tuntas serta final menjelaskannya.

Bagi saya, cinta memang tidak bisa dijelaskan. Cinta berbeda dibanding sepeda motor, negara, Borobudur dan lain-lain. Semua bisa didefinisikan. Semua bisa dijelaskan but love...

Paling-paling perkara sejuta rasa ini cuma bisa ditandai gejala-gejalanya, tanpa bisa kita jelaskan tuntas definisinya. Bagi saya, kalau putera atau puteri ibu ditanya kenapa mencintai seseorang, apa alasannya, dan mereka bisa menjawab tuntas, berarti mereka tak menampakkan gejala cinta. Bukan cinta itu namanya. Itu itung-itungan.

Salah satu hiburan saya kalau nonton kabar kriminal di televisi adalah menyimak ekspresi mata salah seorang pasangan, jika pasangannya diborgol oleh polisi entah gara-gara narkoba, nyolong duit dan lain-lain.

Pasangan itu biasanya membela mati-matian. Sebagian, kayaknya, karena yang sedang diborgol itu merupakan tulang punggung ekonomi pasangan. Ini juga itung-itungan. Bukan cinta.

Tapi, yang biasanya saya terhibur, ada juga yang membela mati-matian bukan lantaran sumber daya duitnya diborgol polisi. Itu agak bisa kita raba-raba dari nyala matanya di kamera. Dia membela dan tidak tahu alasannya membela. Sama halnya dia jatuh cinta pada yang diborgol itu tanpa tahu alasannya. Pokoknya cinta aja.

Ibu-ibu, karena tak ada yang tiba-tiba di dunia, termasuk tindak kriminal, pasti dulu-dulunya ketika awal pacaran sudah ada gelagat kriminalitas itu pada calon pasangan. Pasti keluarga yang anggotanya dipacari oleh orang yang punya potensi kriminal itu tak setuju. Pasti dia berjuang mati-matian untuk tetap bisa pacaran ma dia, terlepas keluarganya setuju atau tidak. Seru!

Itu yang menghibur saya. Masih banyak cinta di muka bumi ini. Dan nyata.

***

Ibu-ibu yang saya hormati, semuanya, yang berambut panjang maupun pendek, kemarin saya ke sebuah tempat yang sudah lama tidak saya kunjungi, Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta. Ternyata saya bertemu senior saya, pelukis Sri Warso Wahono dan Syahnagra.

Dari situ saya dapat kabar duka. Seorang senior seniman sedang stroke di kota “S”. Sudah tak bisa mendeteksi sahabat. Dulu dia dikenal sebagai perayu ulung dan banyak banget pasangannya. Mas Sri Warso wanti-wanti, agar kita semua inget masa tua, suatu masa yang datangnya cepat tapi sangat halus sampai kita tak merasa tau-tau udah tua dan stroke.

Saya mendebat. Kalau kita terlalu hati-hati demi masa tua, nggak makan ini, nggak makan itu, nggak ngrayu ini nggak ngrayu itu, bukannya kita jadi stres juga dan akhirnya stroke juga.

Syahnagra punya jawaban dahsyat, yang mungkin berguna juga buat ibu-ibu lebih-lebih untuk bahan renungan di awal puasa ini. “Tidak usah takut ngadepin masa tua,” katanya. “Hidup wajar saja sekarang. Nggak usah ketat pantang ini-itu. Yang penting ada orang yang mencintai kita. Masa tua kita akan tenang.”

Ibu-ibu, maaf nih, suami cinta Ibu nggak sih? Atau sekadar “asal tidak cerai” dan “demi anak-anak”?

(Dimuat di harian Sindo, tanggal 14 September 2007)


Tidak ada komentar: